Perkebunan Kelapa Sawit Mencuri di Papua Barat

head_pr_eia

Pemilik lahan hanya dibayar 65 sen dolar AS (Rp. 6.000) per hektar

Bogor- 5 Juni 2012. Perusahaan perkebunan sawit yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Norwegia hanya membayar pemilik lahan di Papua sebesar US$ 0,65 (Rp 6.000) per hektar untuk hutan mereka.

Dalam briefing terbaru, Eksploitasi Kesat Mata, Telapak bersama dengan Environmental Investigation Agency (EIA) mengungkap bagaimana PT Henrison Inti Persada (PT HIP) membayar dengan rendah dan memarjinalisasi masyarakat adat Moi untuk lahan dan kayu.

Kami berhasil mendapatkan bukti berupa salinan ‘kontrak’ antara PT HIP dengan kepala marga masyarakat adat Moi yang memuat secara rinci pembayaran sebesar US$923 untuk 14,2 meter kubik lahan hutan atau sekitar US$0,65 (Rp 6.000) per hektarnya.

Di saat grup konglomerat Hongkong, Noble Grup membeli mayoritas saham PT HIP pada 2010, pemerhati industri memperkirakan perkebunan kelapa sawit itu akan bernilai US$ 162 juta jika dikembangkan (berdasarkan perhitungan US$ 5,000 per hektar) – atau 7,812 kali harga yang diterima oleh pemilik lahan masyarakat adat Moi per hektarnya.

Ekploitasi Kesat Mata juga memberikan secara rinci pembayaran serendah US$ 25 per meter kubik pada pemilik lahan untuk kayu yang didapat dalam proses pembukaan hutan mereka, termasuk untuk kayu merbau yang bernilai tinggi. Penelusuran kami memperlihatkan perusahaan tersebut mengekspor merbau dengan harga US$875 per meter kubiknya menghasilkan keuntungan berjuta-juta dolar.

Telapak bersama EIA lebih jauh menemukan sejarah dari penyimpangan hukum dalam perkembangan perkebunan dan pengambilan kayu – pelanggaran tidak pernah ditindak oleh aparat yang seharusnya bertugas melindungi hutan dan masyarakat Papua Barat. Pelanggaran hukum meliputi pembukaan lahan hutan dan penggunaan kayu tanpa ijin serta gagalnya pengembangan sistem kebun plasma yang sesuai dengan persyaratan resmi.

Keuntungan pembangunan seperti rumah, kendaraan, dan pendidikan yang dijanjikan untuk pemilik lahan yang miskin juga tidak pernah direalisasikan oleh perusahaan.

Jago Wadley, Forest Campaigner EIA mengatakan,”Warga Papua merupakan sebagian dari warga termiskin di Indonesia dan justru dieksploitasi melalui perjanjian perkebunan sawit yang memberikan keuntungan besar bagi investor internasional dengan mengorbankan masyarakat dan hutan di Papua Barat.”

Briefing ini juga menggarisbawahi bagaimana Norwegia memiliki sumbangsih pada perkebunan tersebut melalui kepemilikan saham jutaan dolar pada Noble Grup.

Norwegia telah dikenal dalam dunia internasional sebagai pemimpin dalam perubahan ikllim. Hal ini mengacu pada investasi politik dan finansial yang mereka terapkan dalam usaha mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi atau yang dikenal REDD+ di Indonesia juga di berbagai negara lainnya.

Telapak dan EIA berpendapat bahwa kontradiksi tersebut harus diperhatikan. Jika dibiarkan, investasi dan pasar komoditi akan terus menghancurkan hutan dan meremehkan masyarakat lokal dan usaha mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi menjadi sia-sia.

“Norwegia – donor REDD+ terbesar untuk Indonesia – juga akan mendapatkan keuntungan dari ekspoitasi destruktif yang terjadi. Hal ini sangat ironis mengingat Norwegia bisa saja memberikan dana untuk warga Papua untuk menjaga hutan mereka,  bukannya mengambil keuntungan dari deforestasi di Papua Barat,” jelas Abu Meridian, Juru Kampanye Hutan Telapak.

Kontak untuk wawancara:

Abu Meridianabu.meridian@telapak.org atau +62857-15766732

Jago Wadleyjagowadley@eia-international.org atau +4420-73547960

CATATAN EDITOR:

  1. Telapak adalah sebuah perkumpulan aktivis LSM, praktisi bisnis, akademisi, afiliasi media, serta masyarakat adat. Telapak bekerja bersama dengan masyarakat adat, petani, dan nelayan di Indonesia hingga terwujudnya kedaulatan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan. Salah satu misi utama Telapak adalah memimpin perubahan menuju kerakyatan dan kelestarian. Informasi mengenai Telapak dapat dijumpai pada website www.telapak.org
  2. Environmental Investigation Agency (EIA) adalah organisasi lingkungan yang menginvestigasi dan berkampanye melawan kejahatan lingkungan, termasuk perdagangan satwa liar, pembalakan liar, limbah beracun, dan perdagangan bahan kimia yang merusak ozon dan iklim. Informasi mengenai EIA dapat dijumpai di website www.eia-international.org
  3. PT Henrison Inti Persada (PT HIP) merupakan perusahaan perkebunan yang didirikan di Sorong, Papua Barat oleh Grup Kayu Lapis Indonesia. PT HIP mendapatkan izin untuk perkebunan kelapa sawit seluas 32,500 hektar di Sorong.
  4. Noble Group merupakan raksasa komoditi yang terdaftar di Hongkong dan masuk dalam daftar stok saham Singapura dengan omset US$88 milyar pada tahun 2010.
  5. Pada 2010, Noble Group membeli 51 persen saham PT HIP dengan nilai US$ 24,525,000 sebagai investasi Noble yang pertama di bidang perkebunan kelapa sawit.
  6. Norwegian Government Pension Fund Global (GPFG) merupakan lembaga dana kekayaan yang terbesar di dunia dengan perkiraan nilai US$ 570 milyar.
  7. Pada Desember 2009, GPFG memberikan US$ 38,973,707 sebagai saham di Noble Group, meningkatkan nilai saham sepuluh kali lipat dari Desember 2008 yang bernilai US$ 3,9 juta. Pada 2010, saat Noble membeli PT HIP, GPFG menaikkan sahamnya pada Noble sebanyak US$ 8 juta hingga nilai saham mereka menjadi US$ 47,053,410.
  8. Pada Mei 2010, Norwegia dan Indonesia menyetujui Letter of Intent (LoI) pada REDD+. Dalam LoI disebutkan Norwegia memberikan US$1 milyar pada Indonesia sebagai bantuan dan kompensasi pengganti untuk pengurangan emisi dari sektor kehutanan Indonesia.