Workshop Review Modul Pemantauan KehutananPengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Bagi KomunitasWorkshop Review Modul Pemantauan KehutananPengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Bagi Komunitas

Yogyakarta | Perkumpulan Telapak mengadakan Workshop Review Modul Pemantauan Kehutanan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Bagi Komunitas pada tanggal 27 – 28 Desember 2013 bertempat di Hotel Quin Colombo Jl. Raya Yogya-Solo Km.14 Kalasan Sleman – Yogyakarta. Salah satu tujuan diadakan kegiatan ini adalah Memperkuat komitmen dan kesepakatan antara Fokal Poin JPIK di 5 (lima) wilayah target program bersama dengan Telapak untuk optimalisasi peran dan fungsi masyarakat khususnya komunitas di sekitar kawasan hutan dalam melakuworksho phplkan pemantauan implementasi Permenhut no : P-68/Menhut-II/2011 secara langsung.

Kegiatan workshop ini dilaksanakan oleh Telapak melalui kerjasama dengan Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia  dengan dukungan Uni Eropa. Peserta workshop ini sebanyak 20 (duapuluh) orang yang terdiri dari unsur fokal point JPIK di 5 (lima) lokasi target program, pelaksana program dari Telapak, Peninjau serta perwakilan dari Kemitraan.

Yogyakarta | Perkumpulan Telapak mengadakan Workshop Review Modul Pemantauan Kehutanan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Bagi Komunitas pada tanggal 27 – 28 Desember 2013 bertempat di Hotel Quin Colombo Jl. Raya Yogya-Solo Km.14 Kalasan Sleman – Yogyakarta. Salah satu tujuan diadakan kegiatan ini adalah Memperkuat komitmen dan kesepakatan antara Fokal Poin JPIK di 5 (lima) wilayah target program bersama dengan Telapak untuk optimalisasi peran dan fungsi masyarakat khususnya komunitas di sekitar kawasan hutan dalam melakuworksho phplkan pemantauan implementasi Permenhut no : P-68/Menhut-II/2011 secara langsung.

Kegiatan workshop ini dilaksanakan oleh Telapak melalui kerjasama dengan Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia dengan dukungan Uni Eropa. Peserta workshop ini sebanyak 20 (duapuluh) orang yang terdiri dari unsur fokal point JPIK di 5 (lima) lokasi target program, pelaksana program dari Telapak, Peninjau serta perwakilan dari Kemitraan.

Workshop ini dilatarbelakangi oleh lahirnya Peraturan Menteri Kehutanan No : 38/Menhut II/2009 yang kemudian direvisi melalui Permenhut no : P-68/Menhut-II/2011 tentang Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dilihat sebagai sikap Pemerintah Republik Indonesia dalam perbaikan tata kelola kehutanan (Forest Governance) di Indonesia khususnya terkait pemberantasan illegal logging dan kebutuhan akan perdagangan kayu legal di tingkat internasional. Permenhut no : P-68/Menhut-II/2011 ini pada dasarnya bertujuan memastikan pengelolaan hutan secara legal dan  lestari dengan fokus pada penilaian kinerja dan verifikasi legalitas kayu (PK-VLK) atas pemegang IUPHHK berdasarkan standar penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan verifikasi legalitas kayu atas pemegang IUPHHK, IPK dan IUI Lanjutan serta pemilik Hutan Hak (Hutan Rakyat) berdasarkan Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Dalam prakteknya berdasarkan data dan informasi dari Kementrian Kehutanan, implementasi Permenhut no : P-68/Menhut-II/2011 tersebut sampai pertengahan Maret 2013, dari 304 (tigaratus empat) pemegang IUPHHK-HA/HT yang ada, baru sekitar 19 (Sembilan belas) perusahaan konsesi yang menerima sertifikasi PHPL.Sedangkan dari 4000 unit industri perkayuan yang ada, baru 210 (dua ratus sepuluh) industri perkayuan menerima sertifikat LK (SVLK).Sementara dari sisi lahan non-kehutanan yaitu hutan rakyat (HR), baru 7 (tujuh) unit manajemen hutan rakyat mendapat sertifikat legalitas kayu.Khusus untuk HR, minimnya jumlah unit manajemen yang bersertifikat perlu jadi perhatian.dikarenakan hutan rakyat saat ini menjadi salah satu primadona utama pemasok bahan baku industri pengolahan kayu Indonesia. Bersama dengan hutan tanaman industri (HTI), HR diklaim Kemenhut memasok sekitar 80% bahan baku industri yang totalnya sekitar 50 juta meter kubik.

Implementasi penerapan Permenhut no : P-68/Menhut-II/2011 diharapkan dapat berjalan secara optimal melalui komitmen dari parapihak yang terdiri dari 5 (lima) elemen utama. Elemen pertama adalah Pemerintah yang diwakili oleh Kementeriaan Kehutanan;  Elemen kedua adalah  unit manajemen dari pemegang  IUPHHK, IPK, IUIPHHK, dan IUI Lanjutan serta pemilik Hutan Hak (Hutan Rakyat); Elemen ketiga yaitu lembaga akreditasi sertifikasi yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN); elemen keempat adalah, Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) Lembaga Penilai Pengelolaan Hasil Hutan Lestari (LP-PHPL) serta Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK); kemudian elemen terakhir adalah Lembaga Pemantau Independen (LPI) baik organisasi masyarakat sipil maupun individu masyarakat.

“Dari 5 (lima) elemen pendukung implementasi Permenhut no : P-68/Menhut-II/2011, secara khusus Peran LPI akan sangat penting karena fungsi utamanya sebagai pengawasan/pemantauan dalam menilai  proses pemberian sertifikat PHPL oleh LP-PHPL dan SVLK oleh LVLK dengan mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Melalui pengawasan dan pemantauan yang dilakukan LPI secara independen diharapkan dapat memastikan adanya proses yang transparan dan jujur dalam pemberian sertifikasi karena melalui proses sertifikasi yang jujur akan memperkuat komitmen Indonesia untuk mengelola hutan secara lestari,” ujar Presiden Telapak Khusnul Zaini

Masih dalam keterangan Khusnul, ia mengatakan bahwa salah satu organisasi yang saat ini fokus berperan sebagai LPI adalah Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) yang terbentuk sejak September 2011 dengan beranggotakan sejumlah organisasi non pemerintah (NGO) serta individu di seluruh Indonesia yang memiliki komitmen dan kesepahaman akan pentingnya melakukan pengawasan eksternal dan pemantauan berkala terhadap proses kerja LP-PHPL dan LVLK yang diperuntukkan bagi  sektor usaha perkayuan.

Berdasarkan pengalaman dalam proses monitoring kehutanan independent yang telah dilakukan JPIK di beberapa wilayah hutan di Indonesia ditemukan kendala terkait mekanisme pengawasan sertifikasi dimana pengajuan keberatan kepada LP-PHPL dan LVLK belum juga mendapatkan tanggapan yang memuaskan. Hal tersebut dikarenakan masih lemahnya kewenangan LPI di dalam Permenhut no : P-68/Menhut-II/2011 sehingga legitimasi JPIK seolah dipandang sebelah mata oleh LP-PHPL dan LVLK. Selain itu, salah satu tantangan bagi JPIK adalah tidak adanya alokasi dana dari pemerintah dalam mendukung proses pengawasan dan pemantauan yang dilakukan LPI.

“Adanya kendala dan tantangan yang dihadapi LPI tidaklah menjadi hambatan bagi JPIK untuk terus melakukan pengawasan dan pemantauan dalam proses sertifikasi PHPL dan SVLK. Kendala dan tantangan tersebut justru menjadi pemicu untuk lebih mengoptimalkan kerja-kerja pemantauan dengan lebih menitikberatkan pada pelibatan masyarakat khususnya komunitas di sekitar kawasan hutan yang bersinggungan langsung dengan konsesi unit manajemen.”

Langkah awal yang dilakukan JPIK dalam upaya pelibatan komunitas secara langsung adalah proses penguatan kapasitas dengan tujuan untuk membangun pemahaman dan pengetahuan komunitas dalam melakukan pengawasan dan pemantauan pengelolaan hutan khususnya terkait proses sertifikasi PHPL. Dalam kerangka tersebut, JPIK melalui kerjasama antara Kemitraan dan Telapak yang didukung Uni Eropa, telah melakukan penulisan untuk penyusunan modul pemantauan bagi komunitas yang selanjutnya dapat menjadi pedoman pengawasan eksternal terhadap implementasi SVLK. Dari proses penulisan awal yang telah dilakukan secara tematik bersama 8 (delapan) orang fokal point JPIK dari 5 (lima) wilayah tersebut telah dihasilkan draf modul pemantauan yang perlu direview lagi untuk selanjutnya di uji terapkan dan dilakukan perbaikan jika diperlukan sebelum akhirnya dapat digunakan sebagai panduan penguatan kapasitas bagi komunitas dalam melakukan pemantauan kehutanan kedepan.

Workshop ini dilatarbelakangi oleh lahirnya Peraturan Menteri Kehutanan No : 38/Menhut II/2009 yang kemudian direvisi melalui Permenhut no : P-68/Menhut-II/2011 tentang Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dilihat sebagai sikap Pemerintah Republik Indonesia dalam perbaikan tata kelola kehutanan (Forest Governance) di Indonesia khususnya terkait pemberantasan illegal logging dan kebutuhan akan perdagangan kayu legal di tingkat internasional. Permenhut no : P-68/Menhut-II/2011 ini pada dasarnya bertujuan memastikan pengelolaan hutan secara legal dan lestari dengan fokus pada penilaian kinerja dan verifikasi legalitas kayu (PK-VLK) atas pemegang IUPHHK berdasarkan standar penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan verifikasi legalitas kayu atas pemegang IUPHHK, IPK dan IUI Lanjutan serta pemilik Hutan Hak (Hutan Rakyat) berdasarkan Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Dalam prakteknya berdasarkan data dan informasi dari Kementrian Kehutanan, implementasi Permenhut no : P-68/Menhut-II/2011 tersebut sampai pertengahan Maret 2013, dari 304 (tigaratus empat) pemegang IUPHHK-HA/HT yang ada, baru sekitar 19 (Sembilan belas) perusahaan konsesi yang menerima sertifikasi PHPL.Sedangkan dari 4000 unit industri perkayuan yang ada, baru 210 (dua ratus sepuluh) industri perkayuan menerima sertifikat LK (SVLK).Sementara dari sisi lahan non-kehutanan yaitu hutan rakyat (HR), baru 7 (tujuh) unit manajemen hutan rakyat mendapat sertifikat legalitas kayu.Khusus untuk HR, minimnya jumlah unit manajemen yang bersertifikat perlu jadi perhatian.dikarenakan hutan rakyat saat ini menjadi salah satu primadona utama pemasok bahan baku industri pengolahan kayu Indonesia. Bersama dengan hutan tanaman industri (HTI), HR diklaim Kemenhut memasok sekitar 80% bahan baku industri yang totalnya sekitar 50 juta meter kubik.

Implementasi penerapan Permenhut no : P-68/Menhut-II/2011 diharapkan dapat berjalan secara optimal melalui komitmen dari parapihak yang terdiri dari 5 (lima) elemen utama. Elemen pertama adalah Pemerintah yang diwakili oleh Kementeriaan Kehutanan; Elemen kedua adalah unit manajemen dari pemegang IUPHHK, IPK, IUIPHHK, dan IUI Lanjutan serta pemilik Hutan Hak (Hutan Rakyat); Elemen ketiga yaitu lembaga akreditasi sertifikasi yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN); elemen keempat adalah, Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) Lembaga Penilai Pengelolaan Hasil Hutan Lestari (LP-PHPL) serta Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK); kemudian elemen terakhir adalah Lembaga Pemantau Independen (LPI) baik organisasi masyarakat sipil maupun individu masyarakat.

“Dari 5 (lima) elemen pendukung implementasi Permenhut no : P-68/Menhut-II/2011, secara khusus Peran LPI akan sangat penting karena fungsi utamanya sebagai pengawasan/pemantauan dalam menilai proses pemberian sertifikat PHPL oleh LP-PHPL dan SVLK oleh LVLK dengan mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Melalui pengawasan dan pemantauan yang dilakukan LPI secara independen diharapkan dapat memastikan adanya proses yang transparan dan jujur dalam pemberian sertifikasi karena melalui proses sertifikasi yang jujur akan memperkuat komitmen Indonesia untuk mengelola hutan secara lestari,” ujar Presiden Telapak Khusnul Zaini

Masih dalam keterangan Khusnul, ia mengatakan bahwa salah satu organisasi yang saat ini fokus berperan sebagai LPI adalah Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) yang terbentuk sejak September 2011 dengan beranggotakan sejumlah organisasi non pemerintah (NGO) serta individu di seluruh Indonesia yang memiliki komitmen dan kesepahaman akan pentingnya melakukan pengawasan eksternal dan pemantauan berkala terhadap proses kerja LP-PHPL dan LVLK yang diperuntukkan bagi sektor usaha perkayuan.

Berdasarkan pengalaman dalam proses monitoring kehutanan independent yang telah dilakukan JPIK di beberapa wilayah hutan di Indonesia ditemukan kendala terkait mekanisme pengawasan sertifikasi dimana pengajuan keberatan kepada LP-PHPL dan LVLK belum juga mendapatkan tanggapan yang memuaskan. Hal tersebut dikarenakan masih lemahnya kewenangan LPI di dalam Permenhut no : P-68/Menhut-II/2011 sehingga legitimasi JPIK seolah dipandang sebelah mata oleh LP-PHPL dan LVLK. Selain itu, salah satu tantangan bagi JPIK adalah tidak adanya alokasi dana dari pemerintah dalam mendukung proses pengawasan dan pemantauan yang dilakukan LPI.

“Adanya kendala dan tantangan yang dihadapi LPI tidaklah menjadi hambatan bagi JPIK untuk terus melakukan pengawasan dan pemantauan dalam proses sertifikasi PHPL dan SVLK. Kendala dan tantangan tersebut justru menjadi pemicu untuk lebih mengoptimalkan kerja-kerja pemantauan dengan lebih menitikberatkan pada pelibatan masyarakat khususnya komunitas di sekitar kawasan hutan yang bersinggungan langsung dengan konsesi unit manajemen.”

Langkah awal yang dilakukan JPIK dalam upaya pelibatan komunitas secara langsung adalah proses penguatan kapasitas dengan tujuan untuk membangun pemahaman dan pengetahuan komunitas dalam melakukan pengawasan dan pemantauan pengelolaan hutan khususnya terkait proses sertifikasi PHPL. Dalam kerangka tersebut, JPIK melalui kerjasama antara Kemitraan dan Telapak yang didukung Uni Eropa, telah melakukan penulisan untuk penyusunan modul pemantauan bagi komunitas yang selanjutnya dapat menjadi pedoman pengawasan eksternal terhadap implementasi SVLK. Dari proses penulisan awal yang telah dilakukan secara tematik bersama 8 (delapan) orang fokal point JPIK dari 5 (lima) wilayah tersebut telah dihasilkan draf modul pemantauan yang perlu direview lagi untuk selanjutnya di uji terapkan dan dilakukan perbaikan jika diperlukan sebelum akhirnya dapat digunakan sebagai panduan penguatan kapasitas bagi komunitas dalam melakukan pemantauan kehutanan kedepan.