Sumber Air Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Terancam Kritis

Sumber air yang berasal dari kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dipastikan akan terus menyusut. Hal tersebut akibat maraknya aktivitas perambahan hutan. “Jika kawasan ini terganggu, maka yang terkena dampaknya adalah masyarakat hilir,” ungkap Kepala Balai TNGP Herri Subagiadi, seusai mengikuti Forum Dialog Pengelola Cagar Biosfer bertema “Pelestarian Lingkungan Hidup dari Prospektif Agama dan Budaya” di gedung Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan (BKPP), Kota Bogor, Senin (30/9). Herri menjelaskan, kawasan Gunung Gede Pangrango merupakan salah satu sumber air terbesar di Jawa Barat. Kawasan ini terletak di tiga kawasan dari Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi hingga Kabupaten Bogor dan merupakan sumber air baku untuk berbagi keperluan masyarakat tiga wilayah tersebut termasuk Jabodetabek.

“Jika rusak, banyak yang akan merasakannya. Sebab penduduk di kawasan Sukabumi, Cianjur dan Jabodetabek mengangantungkan hidup dengan menggunakan air dari kawasan taman nasional,” ungkapnya.

Kendati demikian, untuk memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi, pihaknya terus berupaya melakukan restorasi tentunya dengan program yang terintergreitasi. Dimana saat ini TNGGP dengan CI serta Daikin Corporation menjalankan program benteng hijau atau green wall.

“Sebagian upaya ini sudah berhasil, dan diharapkan restorasi ini terus berjalan sehingga dapat memperbaiki fungsi tangkapan air,” tukasnya.

Akan tetapi, lanjut Herri, program ini akan berjalan jika didukung masyarakat khususnya warga yang tinggal di kawasan Taman nasional wajib terlibat. “Kerusakan kawasan taman nasional ini akibat adanya perambahan hutan oleh masyarakat sekitar, jadi masyarakat juga harus ikut dilibatkan untuk mendukung kelestarian ekosistem supaya kedepan tidak semakin parah,” paparnya.

Secara pribadi, kata dia, pihaknya mendukung dibentuknya lembaga adat di setiap desa, sehingga upaya pelestarian kawasan taman nasional bisa dilakukan secara maksimal.

“Saat ini memang tidak ada program untuk membentuk lembaga adat, tetapi yang ada hanya pembentukan kelompok-kelompok masyarakat. Padahal menurut saya sangat membantu pencegahan perambahan hutan. Karena dengan adanya aturan-aturan adat, kalau ada yang melanggar, bisa dikenakan sanksi adat, karena menurut pengalaman sanksi adat itu lebih mujarab ketimbang sanksi negara,” pungkasnya.

——————-

Sumber: Infobogor.com, Kamis 03 Oktober 2013

link: Infobogor.com