Kasus Nenek Asyani : Cara Perhutani Menyembunyikan Kinerjanya yang Buruk

head_pr_telapak

Kasus Nenek Asyani : Cara Perhutani Menyembunyikan Kinerjanya yang Buruk

Bogor, 23 February 2015 – Keuntungan usaha Perum Perhutani hanyalah Rp. 165,839,- untuk setiap hektar lahan yang dikelolanya per tahun. Jumlah ini jauh lebih kecil atau hanya 5% dari Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) di Kulonprogo, Yogjakarta, yang mampu menghasilkan nilai ekonomi Rp. 3.124.990 / hektar / tahun dengan pengelolaan kawasan hutan secara lestari.

Perbandingan sederhana diatas menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan hutan secara lestari oleh koperasi rakyat lebih menghasilkan dalam hal ekonomi (profit dan pajak) dan kerakyatan dibandingkan Perum Perhutani.

Perum Perhutani, BUMN sering menggunakan cara lain untuk menutupi rendahnya kinerja mereka dengan mengkriminalisasi masyarakat sekitar. Kasus nenek Asyani, misalnya, bermula ketika petugas Perhutani yang sedang berpatroli menemukan dua tunggak kayu yang dinyatakan hilang oleh mereka.  Penyidik kemudian menangkap nenek Asyani, menantunya Ruslan dan tukang kayu bernama Cipto dengan didakwa mencuri kayu perhutani. Nenek Asyani, bersikeras bahwa kayunya berasal dari tanah sendiri, yang ditebang oleh almarhum suaminya tujuh tahun yang lalu. Tetapi Perhutani berkeras menyatakan bahwa dua tunggak kayu itu adalah milik mereka.

Kasus yang menimpa nenek Asyani adalah modus lama yang selama ini sering digunakan oleh Perum Perhutani untuk menimpahkan buruknya kinerja mereka dalam mengelola kawasan hutan Negara yang luasnya mencapai 2.442.101 hektar.  LSM Arupa dan LBH Semarang mencatat dalam kurun waktu 1998 – 2011, Perhutani telah menganiaya, mencederai, dan menembak setidak-tidaknya 108 warga desa sekitar hutan yang dianggap/diduga mencuri kayu atau merusak hutan. 34 diantaranya tewas tertembak atau dianiaya petugas keamanan hutan (Mongabay, 28 Januari 2013).

Kinerja buruk dibidang hubungan masyarakat oleh Perhutani tersebut menegaskan ketidakmampuan mereka mengemban amanat Peraturan Pemerintah no.72 tahun 2010 yang menjadi dasar hukum pendiriannya.  Dalam pasal 7 PP.72, Perhutani antara lain diamanatkan untuk mengelola kawasan hutan untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial, dan ekonomi, bagi Perusahaan dan masyarakat.

Kenyataannya, tidak hanya segi hubungan masyarakat yang bermasalah, kinerja segi ekonomi Perhutani juga tidak sebaik dengan hutan yang dikelola masyarakat.  Tahun 2014, induk Perum Perhutani menghasilkan laba sekitar Rp. 312,3 milyar atau hanya menghasilkan laba sebesar Rp. 165.839 perhektar. “Kami hanya membagi laba bersih tahunan dengan total hutan produksi dan produksi terbatas saja” ujar Silverius Oscar Unggul, Kordinator comlog Telapak.

Sebagai perbandingan, Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) di Kulonprogo, Yogjakarta, mampu menghasilkan nilai ekonomi Rp. 3.124.990 untuk setiap hektar yang dikelolanya. “Itupun baru dari hasil kayu saja, bila ditambah dengan tanaman lain selain kayu, penghasilan perhektar bisa dua kali lipat,” tegas Windriatmo, ketua KWLM.

Pengelolaan oleh KWLM adalah salah satu model pengelolaan hutan berbasis masyarakat secara berkelanjutan yang sekarang sedang digerakkan oleh Telapak.  KWLM adalah salah satu koperasi pemegang sertifikat Forest Stewardship Council (FSC), yang telah membuktikan bahwa pengelolaan

kawasan hutan oleh masyarakat jauh lebih efektif dan efisien.  “Kalau hanya untung Rp. 165.839 rupiah perhektar pertahun, lebih baik Perhutani memberikan kesempatan kepada kami untuk mengelola kawasan hutannya dengan sistem sewa, kami bersedia membayar Rp.1.000.000/ha/pertahun,” tantang Windriatmo, yang juga merupakan gubernur Telapak untuk daerah Jawa Bagian Tengah.

Bagi Windriatmo, memberikan hak pengelolaan hutan kepada rakyat adalah salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah konflik dengan masyarakat, mempertahankan kelestarian kawasan hutan, tetapi dipihak lain juga memberikan kesempatan kerja yang lebih luas kepada rakyat untuk peningkatan kesejahteraan.

“Hal ini sangat sejalan dengan tekad President Jokowi, yang ingin memperluas kawasan pengelolaan hutan oleh rakyat, yang nota kesepahamannya baru ditandatangani hari Kamis, tanggal 19 Februari yang lalu, bersama KPK,” tutup Windriatmo.

— S e l e s a i —

Tentang Telapak: Telapak adalah sebuah perkumpulan aktivis LSM, praktisi bisnis, akademisi, afiliasi media, serta masyarakat adat.  Telapak bekerja bersama dengan masyarakat adat, petani, dan nelayan di Indonesia hingga terwujudnya kedaulatan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan.  Salah satu misi utama Telapak adalah memimpin perubahan menuju kerakyatan dan kelestarian.  Informasi mengenai Telapak dapat dijumpai pada website www.telapak.org.

Telapak berkedudukan di Bogor, tetapi memiliki badan teritori yang tersebar di 23 propinsi di Indonesia.  Telapak sejak tahun 1999 aktif dalam kampanye melawan illegal logging, dan sejak tahun 2003, Telapak juga mengembangkan community-based and sustainable logging (comlog), sebagai salah satu solusi bagi penanganan illegal logging.  Hingga kini, lokasi comlog Telapak terdapat pada 29 lokasi dengan total lahan seluas 224.303 hektar.

Tentang Koperasi Hutan Jaya Lestari: Koperasi Hutan Jaya Lestari (KWLM) adalah koperasi pengelola hutan rakyat yang berkedudukan di Kulonprogo, Jogjakarta.  KWLM adalah salah satu bagian dari gerakan Telapak dan merupakan pemegang sertifikat pengelolaan hutan yang lestari dengan standar FSC (Forest Stewardship Council). Kini KWLM memiliki, 1.205 orang anggota dengan luas kawasan hutan yang dikelola hanya 900 hektar.


KONTAK Media:
Silverius Oscar Unggul
Kordinator Comlog Telapak
Telepon: 0811 407 888 | Email: onte@telapak.org

Windriatmo
Ketua KWLM dan Gubernur Telapak Jawa Bagian Tengah
Telepon: 0852 928 127 99 | Email: bernadus_ad@telapak.org

Bergas Chahyo Baskoro
Media Officer Telapak
Telepon: 0812 939 324 39 I Email : bergas@telapak.org

Silahkan download dokumen ini disini:
Kasus Nenek Asyani : Cara Perhutani Menyembunyikan Kinerjanya yang Buruk