Di Tahun Kehutanan Internasional Hutan Adat Muara Tae Terus Dihancurkan Perusahaan

head_pr_telapak

Jakarta, 25 November 2011. Saat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan tahun 2011 sebagai Tahun Hutan Internasional saat itu pula hutan adat yang tersisa di Kampung Muara Tae terus dihancurkan untuk kepentingan industri. Bersama masyarakat adat di Muara Tae, Telapak menyerukan adanya upaya serius menghentikan praktek penggundulan hutan oleh perusahaan tambang batu bara dan kebun kelapa sawit untuk kepentingan masyarakat.

Sebuah laporan dan video tentang derita masyarakat adat Muara Tae diluncurkan kepada masyarakat luas pada pembukaan Forest Festival di Gedung RRI Jakarta hari ini. Laporan dan video tersebut mengupas detil sejarah kehancuran hutan adat Dayak Benuaq untuk kepentingan perusahaan HPH, HTI, kebun kelapa sawit, dan tambang batubara.  Layaknya lumbung kekayaan alam yang tak pernah habis, kawasan hutan adat Muara Tae yang dulu rimbun dan menjadi sumber kehidupan masyarakat adat Dayak Benuaq kini hanya jadi hutan sekunder, hamparan akasia, kebun sawit dan lubang-lubang besar menganga galian batubara.

Tak hanya kekayaan alam yang terkeruk habis, perusahaan-perusahaan yang datang juga mengabaikan kehidupan masyarakat adat di Muara Tae yang bergantung penuh pada hutan adatnya.  Kejadian ini terus berlangsung hingga saat ini.  Bahkan di saat tahun 2011 dinyatakan oleh PBB sebagai tahun bagi hutan secara internasional (International Year of Forests) yang mengusung tema ”Hutan untuk Masyarakat”.  Hutan adat Muara Tae di ambang kehancuran.

Meski di ambang batas kehancuran, masyarakat adat di Muara Tae masih terus berupaya keras mempertahankan sisa hutannya. Ancaman penggundulan oleh perusahaan tambang batu bara dan kebun kelapa sawit tak membuat gentar upaya ini. Masyarakat Muara Tae membangun pondok-pondok jaga di dalam hutan, melakukan pemetaan kawasan adat mereka, menginventarisir keanekaragaman hayati serta menyiapkan pembibitan jenis-jenis pohon lokal untuk memperbaiki areal-areal yang dulunya berupa hutan.

“Kami membuat pondok jaga agar perusahaan tidak masuk dan merusak wilayah hutan kami. Kami tidak mau pengalaman buruk masa lalu menimpa kami. Sudah banyak tanah kami yang diambil perusahaan tambang batubara dan perusahaan sawit,” kata Petrus Asuy, salah seorang warga masyarakat dari Kampung Muara Tae.

Kegigihan upaya perlindungan hutan oleh masyarakat Muara Tae ini didukung penuh oleh Telapak. Telapak percaya bahwa masyarakat adat merupakan korban dan seharusnya menjadi penerima manfaat utama atas kekayaan alamnya.  Semua perusahaan yang berada di Muara Tae telah mengabaikan kepentingan masyarat adat Dayak Benuaq. Kehancuran hutan dan pengerukan kekayaan alam di Muara Tae untuk kepentingan industri sudah selayaknya dihentikan.

Abu Meridian, Juru Kampanye Hutan Telapak mengatakan, “Perusahaan-perusahaan tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit sudah waktunya dihentikan beroperasi, karena telah mengabaikan kepentingan perlindungan hutan dan kehidupan masyarakat adat di Muara Tae”.

KONTAK:

Abu Meridian, Juru Kampanye Hutan Telapak
abu.meridian@telapak.org atau 0857-157-66-732

Sheila Kartika, Kontak Media
sheila@telapak.org atau 0856-887-1996

CATATAN UNTUK EDITOR:

  • Muara Tae merupakan sebuah kampung yang terletak di Jempang, Kutai Barat, Kalimantan Timur.  Sejak tahun 1971, sumber daya alam di Jempang telah dieksploitasi oleh PT Sumber Mas dari tahun 1971-1975, 1983-1985, dan 1991-1992. Pada tahun 2007, masuk PT London Sumatra yang beroperasi hingga saat ini. Pada tahun 1996/1997 PT Gunung Bayan Pratama Coal memulai eksplorasi dan eksploitasi juga beroperasi hingga saat ini. Pada tahun 2010, PT Borneo Surya Mining Jaya masuk dan sampai saat ini masih beroperasi di Jempang.
  • Pada tahun 2000, Telapak telah mengeluarkan laporan “Menanam Bencana” yang mengekspos ekspansi perkebunan sawit PT London Sumatra merupakan bukti nyata perusakan kehidupan ekologis, budaya, dan sosial di Jempang, Muara Pahu, dan Bongan.
  • Lima perusahaan yang sedang dan akan beroperasi di Muara Tae adalah PT Gunung Bayan Pratama Coal, PT Borneo Surya Mining Jaya, PT London Sumatra TBK, PT Kencana Wisto, dan PT Munte Waniq Jaya Perkasa.
  • Deklarasi PBB tentang hak-hak Masyarakat Adat menyebutkan bahwa masyarakat adat memiliki hak menentukan nasib sendiri; hak atas tanah, wilayah dan sumber daya; dan persetujuan tanpa paksaan (Free, Prior and Informed Consent/FPIC) untuk menentukan apakah suatu proyek dapat dilaksanakan atau ditolak.
  • Pada tanggal 21 November 2011 lalu, warga Muara Tae telah mengeluarkan sebuah seruan aksi yang berisi tuntutan (kepada Pemerintah) untuk:
    • Mencabut segala bentuk periijinan yang diberikan kepada PT Munte Waniq Jaya Perkasa;
    • Menghentikan segala aktifitas PT Munte Waniq Jaya Perkasa di lapangan sampai dengan adanya penyelesaian konflik dan PT Munte Waniq Jaya Perkasa harus bertanggungjawab atas kerusakan yang terjadi di atas tanah adat kami;
    • Menghentikan segala bentuk ancaman-ancaman dan berikan perlindungan terhadap warga Kampung Muara Tae;
    • Mengakui dan menetapkan batas wilayah adat Muara Tae yang telah dipakai secara turun-temurun.
  • Telapak adalah sebuah perkumpulan aktivis LSM, praktisi bisnis, akademisi, afiliasi media, serta masyarakat adat yang berpusat di Bogor, Jawa Barat. Telapak bekerja bersama dengan masyarakat adat, petani, dan nelayan di Indonesia hingga terwujudnya kedaulatan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan.  Salah satu misi utama Telapak adalah memimpin perubahan menuju kerakyatan dan kelestarian.  Informasi mengenai Telapak dapat dijumpai pada website www.telapak.org