Negotiation ApproachPendekatan Negosiasi -->

Negotiation Approach used as a Public Involvement Tools to Manage Water Resource

Pendekatan NegosiasiTelapak decide to involve in issue about management water resources in Indonesia. Indonesia encounters with issues and problems about water resources management. When rainy season coming, flood often happened and drought happened on dry season. Water pollution also happening in worrying scale. There is uneven water distribution on irrigation between the rich farmers and the poor one. Also there is limited access to village and city to get enough clean and fresh water. This problem related to institutions in management of water resources, such as: responsibility that charged to different department, unsatisfied rules and policies, and inefficiency of water used because lack of awareness.

In our activities, we based on things that encourage people to think more and doing something useful for their hometown. This local initiative became the core of Negotiation Approach. Telapak realize its position as a NGO, other than farmers or entrepreneurs who use water from river as resources. Therefore, it needs public involvement mechanism that appropriate with this condition.

Negotiated Approach and Water Management in Indonesia

Since 2001, groups of NGOs started to systematic concept Negotiated Approach (NA). NA already implemented on Integrated River Basin Management (IWRM). The purpose is to build a framework that makes the communities possible to live and work in an area of “wilayah tangkapan air” and riverbanks. So there is a development and implementation of local management concept and their activities. On the other side, it can affect the decision makers and policy makers in central level.

Negotiated Approach emphasize on need of new design policy making, where its focus to include key groups like local actor as a real actor and get involved in policy making.

With negotiated approach, we hopes that local, regional, and international policy makers, and also donors and multilateral agents will recognize the importance of local actor that have a role in sustainable water management. It is also important to involve local actor in process of policy making that related with their area.

Opposite with top-down model, negotiated approach work started in local level, and demand changes in power relations (from central to local level). Negotiated approach prioritizes human and nature concerns, so it is possible to communities who use water to define what needs and priority for negotiating with other related parties.

Negotiated approach not requiring the changes in the watershed management: negotiated approach can assuming the work of watershed management that already functioned before, the main point is that the unbalance and the absence of local actor. Negotiated approach focus on strengthening local actor as main actor in policy-making. Local actors supposed to be supported so they can analize the facts that happened and able to formulate integrated water management proposal for all watershed.

With same way of thinking, negotiated approach not asking for entiry new management practice in watershed management. Otherwise, analysis that based on actions using the existed work tools and instruments, including multi-criteria analysis, GIS, cost benefit analysis, water balance, hydrological and climate models also weather analysis, etc.

Key Characteristic

Main differences between negotiated approach and partisipatory approach is that negotiated approach is focusing on convincing local actors so they can negotiate with other related parties. Also so they can initiate the process of decision-making, and to develop development strategies and put that initiatives in decision making process in regional level, watershed, and national level. While partisipatory approach that existed nowadays, recognize need of local actors to react to proposals and alternatives of management that offered instead of considering what the main element that supposed to be existed and needed suit with watershed condition.

Basic diferrences between negotiation – participation:

In practice, participation have tendency to avoid conflict-whereas negotiated approach more flexible, approach process that more interactive that look at conflict as alternative energy sources in making changes.

Eventhough blue-print of negotiated approach can’t be formulize, this elements create characteristic of negotiated approach and can be used as check-list for anyone who interested in implement negotiation approach.

  • Local actors empowerement
  • The inclusion of local water users in all levels of decision-making processes and policy-making.
  • Gives mandate to the local actors to carry out their duties and responsibilities where appropriate and knowledgeable good (subsidiary principle).
  • Using the existing policy, the applicable decision-making structures, to involve NGOs and local actors.
  • Using tools and instrument that existed, ask for expert Technical Assistance.
  • No blue-print: unstopped inovation, always search for new opportunities and challenges, using knowledge to make new policies.
  • Interactive, open process that can react to hidden obstacles that come, like local agenda and old interest that existed before.

Pendekatan Negosiasi sebagai Alat Pelibatan Publik ke dalam Pengelolaan Air Indonesia

Pendekatan NegosiasiTelapak memutuskan untuk terlibat dalam isu pengelolaan air di Indonesia. Indonesia berhadapan dengan beberapa permasalahan dalam manajemen sumber daya air. Sering terjadi banjir pada musim penghujan, kekurangan air pada musim kemarau atau musim kering, terjadinya kasus-kasus pencemaran air yang mengkhawatirkan, dan juga terjadinya pendistribusian air yang tidak merata antara petani kaya dan petani miskin dalam proses irigasi dan pembatasan akses di dalam pedesaan dan perkotaan untuk mendapatkan air bersih yang cukup. Masalah seperti ini terkait dengan kelembagaan di dalam aspek manajemen pengaturan perairan, seperti: tanggung jawab yang dibebankan di departemen yang berbeda, pengaturan dan kebijakan yang tidak memuaskan; dan ketidak efisiensian dalam penggunaan air karena rendahnya kesadaran pengguna air.

Dalam rangkaian kegiatannya, kita mendasari pada hal-hal yang mendorong orang banyak untuk berpikir lebih untuk melakukan sesuatu yang berguna untuk kampung tempatnya tinggal. Inisiatif lokal ini menjadi inti dari Pendekatan Negosiasi. Telapak menyadari posisinya sebagai NGO di luar pengguna air langsung seperti petani pemakai air, para pengusaha swasta yang menggunakan air sungai sebagai sumber produksinya, dsb. Oleh karenanya diperlukan mekanisme pelibatan publik yang sesuai dengan kondisi ini.

Pendekatan Negosiasi dan Pengelolaan Air di Indonesia

Sejak tahun 2001, sekelompok NGO memulai mensistematisasi konsep ‘Negotiated Approach’ yang selanjutnya kita sebut Pendekatan Negosiasi, yang selama ini sudah mereka terapkan di dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu (Integrated River Basin Management; IRBM) yang kemudian dimodifikasi menjadi Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu (Integrated Water Resource Management; IWRM). Tujuannya untuk membangun sebuah kerangka kerja yang memungkinkan masyarakat bisa hidup dan bekerja di sebuah wilayah tangkapan air dan daerah aliran sungai. Sehingga terjadi pembangunan dan implementasi penggunaan konsep pengelolaan lokal dan aktivitas-aktivitasnya. Dan di sisi lain bisa mempengaruhi para pengambilan keputusan dan pembuat kebijakan di tingkat pusat.

Pendekatan NA menekankan adanya kebutuhan sebuah desain baru pembentukan kebijakan, dimana fokusnya memasukkan kelompok-kelompok kunci, misalnya aktor lokal, sebagai pelaku sesungguhnya dan terlibat di setiap tahapan pembentukan kebijakan.

Pendekatan NA mengharapkan para pengambil keputusan di tingkat lokal, regional dan nasional, begitu juga donor dan agen-agen multilateral, agar mengenali pentingnya peran aktor lokal yang memegang peranan dalam pengelolaan air yang berkelanjutan. Begitu juga pentingnya melibatkan aktor lokal ini ke dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan air dan pengambilan keputusan yang menyangkut daerahnya.

Berlawanan dengan top-down, maka cara kerja NA dimulai dengan tingkat lokal, dan menuntut terjadinya sebuah perubahan hubungan kekuasaan (bergeser dari tingkat pusat ke lokal). NA mengutamakan kepentingan manusia dan alam ini, memungkinkan masyarakat di tingkat pengguna air langsung menetapkan sendiri apa saja keperluan dan prioritasnya, dan menegosiasikan kepentingan ini dengan para pihak terkait lainnya.

Pendekatan NA tidak sepenuhnya membutuhkan perubahan cara kerja pengelolaan suatu daerah aliran sungai: NA bisa saja mengasumsikan cara kerja pengelolaan air yang sudah ada berfungsi semestinya, poin utama yang tidak seimbang dan perlu dilihat lagi adalah ketidakhadiran aktor lokal. NA fokus untuk terjadinya penguatan aktor lokal sebagai aktor utama pengambil keputusan. Aktor lokal sudah seharusnya didukung agar mampu menganalisa fakta apa saja yang terjadi dan mampu memformulasikan sebuah usulan kerja (proposal) pengelolaan air yang terintegrasi untuk seluruh daerah aliran sungai. Oleh karenanya terjadi koneksi antara realitas yang ada dan visi lokal pembangunan menurut mereka menuju suatu proses yang lebih tersentral dan sebuah bentuk kelembagaan dan kerangka kebijakan.

Dengan cara pikir yang sama, NA itu tidak meminta adanya suatu praktek pengelolaan yang baru secara total di dalam manajemen DAS. Sebaliknya, analisis yang berbasis tindakan menggunakan alat kerja dan instrumen-instrumen yang ada, termasuk multi-kriteria analisis, GIS, analisis biaya manfaat (cost-benefit analysis), keseimbangan air, hydrological dan model-model analisa iklim dan cuaca, dll.

Karakteristik Kunci

Perbedaan yang pokok antara Pendekatan NA dan apa yang disebut pendekatan partisipatori adalah bahwa NA memusatkan perhatian untuk meyakinkan agar para aktor lokal dikuatkan untuk mampu bernegosiasi dengan pihak terkait lainnya. Juga agar bisa memprakarsai proses-proses pengambilan keputusan, dan untuk mengembangkan strategi-strategi pembangunan dan memasukkan inisiatif ini ke dalam proses-proses pengambilan keputusan di tingkat regional, DAS, dan tingkat nasional. Sementara pendekatan partisipatori yang ada saat ini, mengenali adanya kebutuhan aktor lokal untuk bereaksi terhadap proposal-proposal dan alternatif-alternatif pengelolaan yang ada ditawarkan, daripada mempertimbangkan elemen utama apa saja yang seharusnya ada dan diperlukan sesuai dengan kondisi DAS tersebut.

Perbedaan dasar antara negosiasi – partisipasi:
pada prakteknya partisipasi punya kecenderungan untuk menghindari konflik – sedangkan NA lebih fleksibel, proses pendekatan yang lebih interaktif yang melihat konflik sebagai alternatif sumber energi dalam terjadinya suatu perubahan.

Walapun peta dasar (blue-print) NA tidak bisa diresepkan, elemen-elemen berikut membentuk karakter NA. Dan bisa digunakan sebagai check-list bagi siapa yang tertarik dalam mengimplementasikan NA:

  • Penguatan (empowerment) aktor lokal.
  • Masuknya pengguna air lokal ke dalam semua level proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan.
  • Memberi mandat kepada aktor lokal untuk mengemban tugas dan tanggungjawab dimana mereka tepat dan berpengetahuan baik (subsidiary principle).
  • Menggunakan kebijakan yang ada, struktur pengambilan keputusan yang berlaku, untuk melibatkan LSM dan aktor lokal.
  • Menggunakan alat dan instrumen kerja yang ada, meminta Technical Assistance dari ahli yang ada.
  • Tidak ada blue-print: inovasi tiada henti, terus mencari peluang dan kesempatan baru, menggunakan pengetahuan yang ada untuk membentuk kebijakan yang baru.
  • Interaktif, proses terbuka yang mampu bereaksi terhadap rintangan-rintangan yang tersembunyi yang datang selama proses, seperti lokal agenda dan interest lama yang sudah ada sebelumnya.